Hari ini ulang
tahunku, aku ingin sekali membeli sepeda baru, tetapi orang tuaku belum
dapat uang. Ayahku hanya berkerja
sebagai tukang becak sedangkan ibuku hanya tukang cuci baju dan itu pun ibuku
terkadang tidak digaji oleh majikannya. Penghasilan
mereka setiap harinya hanya Rp.25.000, dan itu pun habis untuk biaya kebutuhan
sehari-harinya juga sebagian digunakan untuk menyembukan penyakit adikku.
Adikku mengindap penyakit kanker otak.
Oh iya aku belum
memperkenalkan diriku, namaku Aliya Sandra Muthia biasanya di panggil Aliya,
aku tidak bisa melanjutkan sekolah dan sekarang aku membantu orang tua dengan bekerja sebagai
penjual Koran. Belum lagi aku setelah pulang dari berjualan, mandi lalu pergi
mengaji dimusolla bersama adikku.
Setelah sekian lama
aku menabung akhirnya aku mempunyai tabungan sebesar Rp.75.500, aku sempat putus asa tapi aku teringat pesan kakek bahwa
kalau kita punya keinginan dan belum sempat tercapai berdoalah agar diberikan
kemudahan. Aku sadar akan pesan kakek waktu itu aku langsung meangambil air
wudhu dan salat ashar selesai salat aku berdoa.
“Ya Allah ya tuhan
kami aku ingin sekali mempunyai sepeda baru tapi…… orang tuaku tidak mempunyai
uang untuk membeli sepedaku”, doa Aliya yang ingin membeli sepeda baru.
Sekonyong-konyong
terdengar suara orang menangis, teryata itu adikku. aku kaget sekali aku pun
merasa bersalah atas ucapanku tadi.
“Kalau adikku
memdengarnya permintaanku tadi ia pasti merasa bersalah banget”, gumam aku
dalam hati.
Aku lalu menghampiri
adikku yang sedang duduk di teras depan kamarku. Adikku yang bernama Putri
Azalwa Cristiany yang biasa dipanggil Zalwa dan berumur 6 tahun.
“Ini semua salahku kak Aliya, kakak gak bisa
beli sepeda baru karena ayah dan ibu ingin mengobati aku supaya aku sembuh”, ucap
Zalwa sambil menangis dan kesal.
“Adikku ini bukan
salahmu, kakak memang seharusnya tidak berbicara seperti itu karena akan
membuat kamu sakit hati dan kecewa”, sahut aku.
“Enggak kak……ini
memang seharusnya menjadi salahku karena aku mengindap penyakit kanker otak dan
biaya aku untuk sembuh itu sungguh mahal kak”, sahut Zalwa
“Kamu tidak boleh
berbicara seperti itu, kamu harus bersyukur atas apa yang diberikan oleh Allah……,
Zalwa”, sahut aku dengan suara lembut.
Mereka sedang bicara soal
masalah tadi ibu dan ayah mereka pun mendengarnya. Orang tua Aliya dan Zalwa
pun menyesalinya mereka baru menyadarinya ternyata di setiap hari ulang tahun
Aliya mereka tidak pernah membelikan hadiah sekecil apapun.
Keesokan harinya
ayahku mendapatkan perkerjaan yang lumayan penghasilannya sebagai montir di
dekat rumah mereka. Ibuku pun mendapatkan perkerjaan sebagai baby sister.
Sekarang mereka mendapatkan penhasilanya sebesar Rp.92.000. Setelah berkerja
selama 3 bulan mereka bisa menambahkan uang tabungan mereka.
Majikan ibuku
mengetahui kebutuhan mendesak keluargaku. Ia lalu menyerahkan tabungan sebesar
Rp.150.000.000 untuk meyekolahkan aku dan adikku dan juga mengobati penyakit
adikku dengan cara dioperasi juga membelikanku sepeda baru.
keesokan harinya ayah
pergi ketoko sepeda, harga sepeda yang ia beli sebesar Rp.1.350.000.
Sesampainya di rumah ayah, ibu, dan adikku menghadiahkan sepeda baru untuk aku.
Aku yang sedang
bermain di bawah pohon dibelakang rumah, aku mendengar suara sepeda ‘kring………….kring……………..kring………….Aliya’.
Aku pun kaget dan langsung pergi ke depan rumah.
“Kejutan…………..”, sahut
adiknya.
“Waw makasih………..bagus
banget sepedanya, pasti harganya mahal”, sahut aku sambil kegirangan.
“Enggak usah mikirin
harga ini buat kamu supaya kamu berjualan korannya tidak berjalan kaki”, sahut
ayah.
“Iya makasihnya atas
semuanya ayah, ibu, Zalwa tapi……….”, sahut aku dengan wajah sedih.
“Kamu kenapa Aliya,
kenapa kamu sedih?”, tanya ibu.
“Enggak bu Aliya hanya
mau sekolah, buat apa Aliya punya sepeda tapi gak punya ilmu”, sahut aku dengan
sedih.
“Ibu dan ayah sudah
menyiapkan semua itu untuk menyekolahkanmu dan adikmu juga mengobati penyakit
adikmu yang tidak kunjung sembuh”, sahut ibu dengan terseyum melihat kedua
putrinya.
“Yang benar………”, sahut
Zalwa.
“Iya masa ayah dan
ibumu bohong sih”, sahut ayah.
“Asyiks………………”, sahut
mereka berbarengan.
Sedang senang-senang
tiba-tiba Zalwa pingsan ayah, ibu, dan aku segera membawa Zalwa ke rumah sakit
terdekat.
Setelah diperiksa teryata penyakit adikku makin
parah satu-satunya cara adalah dioperasi. Tanpa berpikir panjang ibu langsung
menyuruh dokter itu agar segera mengopersinya dan membayar adminitrasinya.
Tepat jam dua siang
lewat dua puluh tiga menit mereka berada di ruang operasi. Ayah menggigit bibirnya
sambil mondar-mandir kesana kemari. Dua puluh lima menit kemudian dokter keluar
dari ruang operasi.
“Bagaimana dok
operasinya lancar-lancar saja kan?”, sahut ayah.
“Alhamdulilah operasi
ini bisa berjalan dengan lancar”, sahut dokter sambil terseyum bahagia.
“Alhamdulilah………”,
sahut aku, ayah, dan ibu berbarengan.
“Sekarang sudah boleh
dijenguk kok silakan masuk”, sahut dokter.
“Terima kasih dok”,
jawab aku.
Adikku terbaring koma
di ruang ICU selama dua menit adikku terbaring dan akhirnya adikku sadar juga
dengan wajah senang ayah, ibu, dan aku menatap adikku yang telah sadar dari
komanya.
“Kamu sudah sadar nak,
apa yang kamu rasakan saat ini?”, tanya ibu yang hawatir.
“Aku merasa lebih
sehat dari yang sebelumnya”, sahut Zalwa yang terbaring diruang ICU.
“Alhamdulilah…….
syukurlah kalau begitu”, sahut aku.
“Kak Aliya, gimana
sepedanya kakak suka?”, tanya Zalwa.
“Iya kakak suka
apalagi warna sepeda biru dan berkeranjang”, sahut aku.
Mereka semua
berpelukan dan mereka sadar atas semua kebahagiaan yang takkan tergantikan.